Guru Besar Ilmu Antropologi Universitas Indonesia, Koentjaraningrat
mengatakan, budaya merupakan suatu sistem gagasan, rasa, tindakan serta karya
yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Manusia diciptakan Tuhan
dengan bekal akal dan budi, hingga mampu melahirkan dan mencipta sebuah karya
tradisi yang adiluhung. Pada hakikatnya budaya memiliki nilai-nilai yang
senantiasa diwariskan, ditafsirkan dan dilasanakan seiring dengan pola
perubahan sosial kemasyarakatan.[1]
Di kawasan pantai utara jawa (pantura) bagian timur yang meliputi
daerah eks Karesidenan Pati memiliki sebuah tradisi dan kearifan lokal yang
sarat nilai-nilai luhur. Tayuban adalah budaya luhur itu, sebuah tarian
tradisional yang sedang terpinggirkan zaman. Tarian yang khas dan identik
dengan sebuah perayaan dan ritus penting di masyarakat jawa.
Menurut teori R.M. Soedarsono dalam Jurnal Harmonia, tayub
mempunyai tiga fungsi utama yaitu sebagai sarana upacara, hiburan dan tontonan.
Tayub dipertunjukkan pada berbagai hajat masyarakat terutama sebagai sarana
upacara, seperti bersih desa, sedekah bumi hingga perkawinan.[2]
Sejarah Tayub dimulai sejak zaman Kerajaan Singosari kemudian
berkembang hingga kerajaan Majapahit. Pada zaman kerajaan ini kesenian tayub
merupakan bagian tak terpisahkan dari upacara keselamatan bagi para pemimpin
pemerintahan yang akan memangku jabatan baru, hingga pemberangkatan panglima ke
medan laga. Perkembangan Tayub tidak hanya berpusara dalam bingkai kerajaan
Hindu-Budha. Pada zaman kerajaan Demak pun eksistensi dan perkembangan Tayub
tetap terjaga.[3]
Konon, Tarian Tayub menjadi bagian strategi dakwah walisongo kala
itu. Sunan Kalijogo memberikan ruh keislaman dalam kesenian Tayuban dengan
pemaknaan Toyyibah seperti halnya Jimat Kalimosodo yang diartikan
sebagai Kalimat Syahadat. Sunan Kalijogo dengan kecerdikannya memberikan
inovasi gerakan dalam tayuban agar lebih sufistik, jari kelingking, manis dan
tengah tegak berdiri, sedangkan jari telunjuk dan jempol melingkar, membentuk abstraksi lafal Allah. Disebutkan
dalam sebuah literatur salah satu strategi dakwah walisongo di Jawa adalah
dengan seni, selain media perdagangan, pernikahan, pendidikan dan tasawuf, hal
ini tentunya memperkuat dugaan Tayuban sebagai media dakwah Sunan Kalijogo.
Tarian Tayub identik dengan pementasan berunsur magis, tayub kerap
dihubungkan dengan danyang[4]
desa misalnya.[5]
Di beberapa daerah misalnya di Keling Jepara ritual Sedekah Bumi yang merupakan
wujud syukur melimpahnya hasil panen dan keselamatan desa, selalu lekat dengan
pementasan Tayub di punden.[6] Sedekah
bumi berasal dari bahasa jawa yang berarti sedekah atau memberi
sedangkan bumi itu sendiri berarti tanah, sehingga apabila kata tersebut
dirangkai mrngandung pengertian yaitu memberi do’a serta melestarikan dan
merawat bumi.
Sangat disayangkan, ketika zaman penjajahan Belanda, kesenian Tayub
terpengaruh unsur negatif yang dibawa para penjajah. Adanya minum-minuman
berakohol, dan perlakuan tidak senonoh dari penonton terhadap ledhek
atau penari tayub. Hingga Tayuban sering dikonotasikan negatif. Clifford Geerzt
dalam Religion of Java bahkan mencatat bahwa ledek dianggap
sebagai pelacur (kledek teledhek is almost always a prostitute). Tidak
jauh berbeda Raflles dalam bukunya The History Of Java menggambarkan
penari Tayub mendapat stigma negatif, hampir semua bisa diajak tidur oleh
lelaki berduit. Hal ini menambah kesan kemiringan salah satu tari tradisional
Indonesia.
Menjaga Lingkungan
Kearifan lokal tidak hanya ritual ceremony
belaka, begitupun dengan Tarian Tayub yang begitu mengakar di kehidupan
masyarakat agraris Jawa. Tradisi Tayuban yang terbingkai dalam laku Sedekah
Bumi mewujud sebagai kearifan lokal yang ada di kawasan pantura bagian timur.
Kearifan lokal tidak hanya bicara tentang keunikan seni dan budaya. Namun lebih
dari pada itu, menjaga kearifan lokal adalah ihwal menjaga lingkungan. Menurut
UU No.32/2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup BAB I Pasal
1 butir 30 menyebutkan “nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan
masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara
lestari”.[7]
Tarian Tayub identik dengan prosesi ritual Sedekah Bumi, dalam
prosesi yang berlangsung setahun sekali, pada acara puncak perayaan selalu
disuguhkan pementasan Tari Tayub. Menjaga
tradisi adalah ihwal menjaga bumi, menjaga keberlangsungan lingkungan hidup,
seperti yang termaktub dalam prosesi sedekah bumi sebagai wujud syukur manusia
terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Anugrah alam yang menghidupi mereka, selalu
ada Tayub didalamnya. Dan ketika manusia tetap teguh menjaga kearifan lokalnya
(Sedekah Bumi) Tarian Tayub pun akan tetap terjaga. Hemat penulis, laku menjaga
keseimbangan dalam ritus sedekah bumi sama halnya laku bertayuban, laku menjaga
dan cinta lingkungan.
[1]Rasid
Yunus, Nilai-Nilai Kearifan
Lokal (Local Genius) Sebagai Penguat Karakter Bangsa Studi Empiris Tentang Huyula, Deepublish, Sleman, 2014, hlm. 2.
Lihat
juga Hari Poerwanto, Kebudayaan dan Lingkungan dalam Perspektif
Antropologi.Pustaka Pelajar , Yogyakarta, 2000., hlm. 52.
[2] Agus Cahyono, Pola
Pewarisan Nilai-nilai Tayub, Jurnal Harmonia, Vol VII, 2006, hlm. 27
[3] Siti Nur
Fitria, Kesenian Tayub di Masyarakat, Artikel Ilmiah, Universitas
Airlangga Surabaya, 2015, hlm 3
[4] Danyang
merupakan leluhur desa, dalam kepercayaan orang Jawa dianggap sebagai perintis
adanya desa tersebut atau orang pertama yang berdiam disitu
[6] Punden
merupakan tempat yang di yakini persemayaman
atau makam leluhur yang dipercaya
sebagai cikal bakal masyarakat
[7] http://www.hukumonline.com/pusatdata/download/lt4b2885d00d163/node/lt4b2885a7bc5ad diakses pada
Hari Jum’at, 6 Mei 2016
No comments:
Write comments