Hari ini kita begitu banyak disuguhi tontonan dan fenomena
memalukan sekaligus memilukan dari dunia pendidikan. Dunia yang menjadi tumpuan
dan harapan bersemainya nilai-nilai luhur dan budi pekerti, dunia dimana nasib
bangsa ini akan menuai kemajuan berperadaban. Tentunya ingatan kita masih fresh
dengan berbagai persoalan-persolan yang terjadi di tanah air ini, yang kian
hari semakin bertambah semrawut dan menambah benang kusut pendidikan kita.
Persoalan-persoalan ini bukan hanya di cerminkan oleh peserta didik seperti
bolos sekolah, mabuk-mabukan, sex bebas hingga tawuran yang sampai menewaskan
salah satu siswa SMK di Jakarta Selatan tahun 2012 silam.[1] Hal
yang hampir serupa juga pernah terjadi, dimana persoalan cinta berujung bentrok yang melibatkan siswa MA Darul Falah
Sirahan Pati dengan siswa SMKN 1 Cluwak Pati tahun 2011.[2]
Tidak hanya itu, keburukan-keburukan tersebut tidak semata dipertontonkan oleh
siswa melainkan di pertontonkan pula oleh para pendidiknya, oknum guru.[3]
Guru sebagai
model
Para
guru yang seharusnya menjadi sosok teladan/ Uswah Hasanah ini nyatanya
malah memperlihatkan perilaku yang tidak sesuai dengan filosofi jawa seorang
guru, yaitu digugu lan ditiru. Beberapa oknum pendidik di sekolah
(meskipun tidak semuanya) justru melakukan tindak kekerasan dan pelecehan
seksual terhadap muridnya, yang semakin marak dewasa ini. Sungguh ironis
memang, sekolah yang merupakan tempat belajar yang menyenangkan berubah menjadi
mimpi buruk bagi siswanya.
Belum
juga masalah ini usai, di tambah lagi dengan carut marut mengenai ujian
nasional. Ujian yang di gadang-gadang menjadi proses final kelulusan siswa
malah erat sekali dengan tindakan-tindakan kecurangan, dan ironisnya kecurangan
itu adalah kerjasama antara pendidik dan peserta didik. Bahkan sejuta cara
distempel halal oleh pendidik, guna meluluskan siswanya seperti
menyuplai contekan hingga membeli kunci jawaban ujian nasional. Hal ini
membuktikan betapa merosotnya pendidikan moral tentang kejujuran dan kerja
keras yang dipertontonkan langsung didepan anak didiknya.
Bandura yang dikutip oleh Sigit Setyawan dalam
bukunya Guruku Panutanku, mengemukakan bahwa, salah satu tumpuan teori
kognitif sosial adalah modeling. Model menjadi perhatian utama teori
kognitif sosial karena pada prinsipnya pembelajaran dalam konteks ini
melibatkan pengamatan terhadap model. Segala sesuatu yang dipelajari dari
pengalaman langsung juga dapat dipelajari dari pengalaman tidak langsung, yaitu
modeling.[4]
Jika menilik hal tersebut, guru adalah model bagi anak didiknya,
dan bayangkan, apa yang akan terjadi jika guru memodelkan hal yang tak
sepantasnya. Peribahasa “guru
kencing berdiri, murid kencing berlari”. Makna dari peribahasa tersebut
adalah siswa mengikuti perbuatan tidak baik yang dilakukan oleh gurunya, bahkan
lebih buruk lagi. Dapat dipahami bahwa pengalaman tidak langsung yang diperoleh
siswa dari perilaku guru tersebut justru lebih mudah diterima dan ditiru.
Karena hampir semua perilaku guru akan menjadi teladan /model (uswah
hasanah) bagi anak didiknya.[5]
Hal ini selaras dengan yang dilakukan oleh Rasulullah Muhamad SAW, sebagai guru
beliau amat menekankan keteladanan dan akhlak mulia. Jika Rasul menyuruh
melakukan sesuatu, beliau orang pertama yang akan melakukanya sebelum orang
lain. Keteladanan atau model lebih memudahkan pemahaman dan ingatan, ketimbang
sebatas ucapan dan penjelasan.[6]
Peran Guru
Sejatinya guru mempunyai banyak peran, tidak hanya dalam lingkup
instansi sekolah melainkan dalam ranah sosial kemasyarakatan. Peran guru
disamping menjadi seorang pendidik adalah menjadi pengajar, pembimbing dan
model atau teladan.[7]
Dalam dunia pendidikan guru tidak hanya berfungsi sebagai transfer of
knowledge tetapi juga transfer of value. Artinya guru tidak hanya
berkewajiban secara formal menanamkan ilmu pengetahuan, sejatinya lebih dari
itu guru berkewajiban menanamkan nilai-nilai moral dan spiritual.
Ada beberapa poin yang seharusnya diperhatikan oleh guru, karena
itu merupakan perananya dalam ranah pendidikan. diantaranya :
1.
Guru
sebagai pengasuh
Guru seharusnya juga berperan
sebagai pengasuh dengan kelembutan hati, sebab dengan kelembutan hatinya ini
bukan tidak mungkin anak didiknya akan mudah tersentuh. Karena memang guru
harus menempatkan diri menjadi orang tua siswa.
2.
Guru
harus mengabdi
Keikhlasan dan totalitas guru dalam
mengajar patut menjadi prioritas utama, karena dengan keikhlasan dan totalitas
tersebut pengabdian guru akan maksimal dan menelurkan lulusan yang bermutu dan
berakhlakul karimah. Menurunya prestasi anak sekolah sekarang ini, dalam hal
akhlak bukan tidak mungkin disebabkan karena ketidak ikhlasan para guru dalam
mengajar.
Hal terbesar yang menjadi pekerjaan rumah bagi para pendidik adalah
mengembalikan nilai-nilai yang telah melekat pada diri para pendidik itu
sendiri, yaitu sosok yang patut untuk digugu lan ditiru. Guru adalah
cerminan cahaya masa depan bangsa, karena ditanganya ini anak-anak pembangunan
masa depan akan menerima suapan-suapan ilmu, budi pekerti dan nilai-nilai moral
yang nantinya akan menjadi bekal penting ditengah zaman edan ini.
Belajar dari Ki
Hajar
Sebagai pribadi yang multi peran, tidak hanya mendidik saja, guru
perlu belajar dari salah satu ajaran Ki Hajar Dewantara bapak
pendidikan nasional kita yang sangat populer yaitu : “Ing Ngarso Sung
Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani”. Ing Ngarso Sun
Tulodo artinya Ing ngarso itu didepan / dimuka, Sun berasal dari kata Ingsun
yang artinya saya, Tulodo berarti tauladan. Jadi makna Ing Ngarso Sun
Tulodo adalah menjadi seorang pemimpin atau guru harus mampu memberikan
suri tauladan bagi orang – orang disekitarnya. Sehingga yang harus dipegang
teguh oleh seseorang adalah kata suri tauladan. Ing Madyo Mangun Karso,
Ing Madyo artinya di tengah-tengah, Mangun berarti membangkitan atau
menggugah dan Karso diartikan sebagai bentuk kemauan atau niat.
Jadi makna dari kata tersebut berarti seseorang ditengah
kesibukannya harus juga mampu membangkitkan atau menggugah semangat. Karena itu
seseorang juga harus mampu memberikan inovasi-inovasi dilingkungannya dengan
menciptakan suasana yang lebih kondusif untuk keamanan dan kenyamanan.
Tut Wuri Handayani, Tut
Wuri artinya mengikuti dari belakang dan handayani berati memberikan
dorongan moral atau dorongan semangat. Sehingga arti dari Tut Wuri Handayani
ialah seseorang harus memberikan dorongan moral dan semangat kerja dari
belakang. Dorongan moral ini sangat dibutuhkan oleh orang – orang disekitar
kita.[8]
Jadi secara tersirat Ing Ngarso Sun Tulodo, Ing Madyo Mbangun
Karso, Tut Wuri Handayani berarti figur seseorang yang baik adalah
disamping menjadi suri tauladan atau panutan, tetapi juga harus mampu menggugah
semangat dan memberikan dorongan moral dari belakang agar orang – orang
disekitarnya dapat merasa situasi yang baik dan bersahabat. Sehingga kita
(pendidik) dapat menjadi manusia yang bermanfaat di masyarakat, dan ajaran Ki
Hajar Dewantara ini sudah sepatutnya mendarah daging disetiap insan pendidik.
[1] http://metro.tempo.co/read/news/2012/09/24/064431554/tawuran-antar-pelajar-di-bulungan-1-siswa-tewas. Diakses pada
tanggal 21 November 2015
[2] Hasil
wawancara dengan Muhamad Khoirul Multazam pada bulan Agustus 2011
[3] http://news.liputan6.com/read/2258974/pelecehan-seksual-saint-monica-guru-h-dituntut-8-tahun-penjara. Diakses pada
tanggal 21 November 2015
[4] Sigit
Setyawan, Guruku Panutanku, Kanisius, Yogyakarta, 2013, hlm. 14
[5] Ahmad Halimi,
dkk. 2015. Resume Mata Kuliah Sosiologi Pendidikan : Peranan Guru di sekolah
dan Masyarakat. Hlm 1
[6] Abdul Fatah
Abu Ghuddah, Muhamad Sang Guru,
Menyibak rahasia cara mengajar rasulullah diterjemahkan dari Ar-Rasul al-Mu’allimin wa Asalibuhu fi
at-Ta’lim oleh Agus Khudlori, Armasta, Temanggung, 2015, hlm 81-82
[7] Mulyasa, Menjadi
Guru Profesional, Remaja
Rosdakarya, Bandung, 2009, hlm. 37-47
[8] http://www.diwarta.com/2012/07/05/arti-dari-ajaran-ki-hajar-dewantara-tutwuri-handayani.html diakses pada
tanggal 21 November 2015
No comments:
Write comments