“Ia hilang tak tentu rimba. Tapi puisinya abadi dan menjadi
teriakan wajib para demonstran : hanya ada satu kata : Lawan!”
(Wiji Tukhul Teka-teki Orang Hilang, Seri Buku TEMPO, 2013)
Barangkali kutipan diatas mengingatkan kita pada keberanian seorang
aktivis kala itu. Hingar bingar rezim orde baru menyisakan masalah pelik yang
tak menemu jalanya. Ketimpangan soisal, berbagai aksi pelanggaran Hak Asasi
Manusia (HAM), perkosaan, penculikan dan pembunuhan yang tak bersua hukum bahkan
keadilan. Semua jalan dilegalkan semata untuk kelanggengan sebuah rezim. Dan
kini bahkan ditengah euforia Reformasi-Demokrasi berbagai masalah itu tak
menemu hukumnya, seakan dininabobokan tumbangnya rezim Soeharto berganti zaman
demokrasi yang diidamkan .
Salah satu tokoh aktivis yang menentang keras rezim orde baru
adalah Wiji Tukhul, penyair sekaligus seniman aktifis pro-demokrasi. Ia adalah
putra asli solo, lahir pada tanggal 26 Agustus 1963 di kampung buruh Sorogenen
dengan nama asli Wiji Widodo, ayahnya adalah seorang penarik becak. Jenjang
pendidikanya hanya sampai Sekolah Menengah Karawitan Surakarta yang kini
berganti nama menjadi SMKN 8 Surakarta, itupun hanya sampai kelas 2. Tukhul
kemudian menikah dengan Siti Diyah Sujirah alias Sipon dan dikaruniai 2 putra
putri, Fitri Nganti Wani dan Fajar Merah. Banyak pekerjaan yang sudah ia jalani,
dari menjadi loper koran, calo tiket hingga tukang pelitur furniture. Ia juga
aktif dalam panggung drama, dengan bergabung bersama kelompok Teater Jagat
(Jagalan Tengah) asuhan Cempe Lawu Warta Wisesa, sebelumnya ia juga mendirikan
sebuah kelompok Teater bernama “Sanggar Suka Banjir” yang beranggotan anak-anak
disekitar rumahnya.
Tukhul merupakan aktivis politik Partai rakyat Demokratik (PRD)
dalam divisi Seni, sekaligus penyair yang gethol berteriak lantang
menentang dan menantang rezim diktator Jenderal Besar. Pasca Peristiwa 27 Juli
1996, sekitar bulan-bulan menjelang kejatuhan Soeharto pada tahun 1998 sampai
sekarang dia tidak diketahui keberadaanya, hilang begitu saja. Dalam siaran pers
Kontras Pers Nomor 7 tahun 2000 Tukhul dinyatakan hilang dengan dugaan diculik dan
dihilangkan paksa oleh militer Orde Baru lewat Tim Mawar bentukan Kopasus.
Ketakutan penguasa
Wiji Tukhul menjadi salah satu dari ke 13 aktivis yang dihilangkan
oleh aparat, kegaranganya di pentas podium unjuk rasa menjadikan phobia tersendiri
bagi sang jenderal dan singgasananya. Bahkan bila penyair-seniman ini
membacakan puisi ditengah buruh dan mahasiswa, aparat memberinya cap sebagai agitator
menakutkan.
Bukan tanpa alasan, aktivis Partai Rakyat Demokratik ini ditakuti
rezim orde baru. Puisi-puisi nya kerap kali bersinggungan dengan pemerintah
yang tirani saat itu. Hingga mau tidak mau aktivis seperti Tukhul ini
dihilangkan, demi stabiitas politik nasional, katanya. Tukhul terus menebar
ancaman dan ketakutan terhadap penguasa kala itu, entah dengan berteater
menulis puisi maupun pamflet. Salah satu puisi yang melambungkan namanya
berjudul “peringatan” yang menjadi teriakan fardhu ain demonstran hingga
kini. “Hanya ada satu kata : lawan.” //Jika rakyat pergi//Ketika penguasa
pidato//Kita harus hati-hati//Barangkali mereka putus asa//Kalau rakyat
bersembunyi//Dan berbisik-bisik//Ketika membicarakan masalahnya sendiri//Penguasa
harus waspada dan belajar mendengar//Bila rakyat berani mengeluh//Itu artinya
sudah gawat//Dan bila omongan penguasa//Tidak boleh dibantah//Kebenaran pasti
terancam//Apabila usul ditolak tanpa ditimbang//Suara dibungkam kritik dilarang
tanpa alasan//Dituduh subversif dan mengganggu keamanan//Maka hanya ada satu
kata: lawan!
Namanya kian santer kala terlibat aksi menggerakkan demonstran buruh
di PT Sri Rejeki Isman Textile (Sritex) Sukoharjo, disertai keberanianya dalam
mengkritik lewat menulis syair-syair yang menusuk pemerintah. Perananya dalam
sejumlah aksi, membuatnya harus menjadi target operasi militer, berlari dan
bersembunyi menjadi kegiatanya setiap hari. Tak hanya berkeliling
solo-Yogyakarta ataupun Jakarta, bahkan sumatra hingga kalimantanpun ia
jelajahi. Dalam buku serial TEMPO disebutkan Tukhul pernah bersembunyi di
kalimantan dengan nama samaran Paulus si tukang bakso hingga Aloysius Sumedi
sebagai rohaniawan. Memang Si Cadel ini sosok pemberani, ini dibenarkan dalam
sebuah buku kumpulan puisi Wiji Tukhul Kebenaran Akan Terus Hidup,
“orang-orang yang berani memang bisa dipenjarakan tetapi, kebenaran tak akan
bisa dipenjarakan,” ungkapnya. Tukhul si kerempeng yang dihilangkan lantaran
keberaniannya yang menggoyang rezim orde baru. Hingga kini namanya terus
diperbincangkan orang, lantaran keberanianya menebar ketakutan untuk pemerintah
yang diktator. Yoseph Yapi Taum
menobatkan Tukhul sebagai seorang penyair kerakyatan yang kembali mendudukkan
fungsi sastra sesuai dengan tempatnya, yakni sebagai sarana memperjuangkan
cita-cita dan visi kemanusiaan.
Tukhul adalah Tukhul ia sosok pemberani, yang menamengkan
diri demi sebuah kebebasan-demokrasi.
No comments:
Write comments