Indonesia ditakdirkan menjadi
negara yang kaya raya. Melimpah ruah tersebar indah di bumi nusantara, dari karunia
alam hingga warisan budaya. Di Jawa dikenal ada budaya sedekah bumi. Sedekah
bumi menjadi sebuah ritual wujud syukur atas nikmat dan karunia yang diberikan
Tuhan Yang Maha Esa.
Hampir di seluruh wilayah di
Jawa menjalankan ini, namun ada kekhasan tersendiri di setiap daerahya.
Keunikan pada setiap prosesi yang dijalankan menjadi pembeda antara sedekah
bumi di daerah tertentu. Di beberapa daerah ritual sedekah bumi identik dengan
iring-iringan gunungan yang berisi makanan dan hasil bumi.
Berbeda dengan di Desa
Tulakan Kecamatan Donorojo Kabupaten Jepara. Tradisi sedekah bumi ditandai
dengan prosesi iring-iringan Jembul. Prosesi Jembul dimaknai sebagai langkah
untuk mengingat laku tapa brata yang dilakukan oleh Nyai Ratu Kalinyamat di bukit Donorojo. Ini dilakukan
sebagai aksi menuntut keadilan atas kematian suaminya. Sunan Hadirin,
yang dibunuh oleh Arya Penangsang.
Jembul merupakan perlambangan
sumpah Nyai Ratu Kalinyamat yaitu ora pati-pati wudhar tapa ingsun, yen
durung keramas getehe lan kramas keset jembule Aryo Panangsang. Yang
berarti tidak akan menyudahi semedinya kalau belum keramas dengan darah dan
keset rambut Aryo Penangsang.
Jembul sendiri merupakan
usungan ancak (semacam tumpukan bambu yang disusun menyerupai gunungan) yang di
dalamnya berisi makanan. Jembul terdiri dari dua jenis, yaitu jembul lanang
dan jembul wadon. Jembul lanang dihiasi dengan iratan bambu tipis
yang kemudian membentuk seperti gunungan dengan dihiasi golek (red: boneka)
diatasnya. Sedangkan Jembul wadon tidak.
Arak-arakan berupa iratan
bambu, yang sebelumnya diarak dari balai desa ke rumah kepala desa. Kemudian
menjadi bahan rebutan masyarakat untuk ngalap berkah keberhasilan panen,
dengan ditancapkan disudut-sudut sawah.
Prosesi sedekah bumi di desa
Tulakan dimulai pada hari Kamis malam Jum’at, dilanjutkan Jum’at pagi dengan
acara manganan di pertapaan Ratu Kalinyamat. Malam Ahad diisi dengan
pengajian dan istighosah. Malam Senin diisi dengan pagelaran wayang kulit dan
di hari Senin, puncak acara iring-iringan Jembul.
Ada empat jembul yang akan
diarak dalam prosesi sedekah bumi ini, yang mana keempat jembul itu adalah
perwakilan dari masing-masing dukuh. “Di setiap dukuh menampilkan Jembul dengan
ikon dukuh masing-masing,” ungkap Hafid, Sekretaris Desa Tulakan.
Lebih lanjut ia menambahkan,
Jembul dukuh Krajan dihias dengan sebuah boneka yang melambangkan Sayid Usman.
Seorang abdi yang menemani pertapaan Ratu Kalinyamat yang dikemudian hari
menyebarkan Islam di sekitar dukuh krajan. Kemudian ada dukuh Ngemplak dengan tokohnya
Sutamangunjaya, dukuh Drojo dengan Ki Leseh dan dukuh Winong yang menampilkan
semangat satria gagah perkasa dengan lambang barisan tentara.
Menurut Hafid, ditetapkannya
hari Senin Pahing bulan Dzulqo'dah. Konon hari tersebut
bertepatan dengan datangnya Nayoko Projo dari Kalinyamatan. Kedatangannya
mengabarkan berita terbunuhnya Arya
Penangsang, serta membawa darah dan rambut Arya Penangsang sebagai tanda bukti.
Pesona budaya
Tradisi ini menjadi sangat
sakral, masyarakat menganggap ritual ini sangat penting dan pantang untuk
ditinggalkan. Selain wujud syukur, sedekah bumi dengan prosesi arak-arak jembul
dimaknai pula sebagai tradisi tolak bala.
Selain tradisi tolak bala,
budaya yang diwariskan turun temurun ini menjadi perlambang kerukunan
masyarakat desa. “Konon dalam arak-arakan Jembul pasti terjadi bentrok, namun
setelah itu masalah usai dengan sendirinya,” jelas Hafid.
Tradisi Jembul Tulakan menjadi
daya tarik tersendiri bagi masyarakat sekitar, atraksi yang heboh menjadikan
jembul tulakan sebagai tontonan yang dinantikan. Tidak hanya warga Tulakan
sendiri yang merasa memiliki budaya ini, masyarakat luas pun berbondong-bondong
mengerumuni tontonan ini.
“Hari sedekah bumi di Tulakan
menjadi hari libur tingkat desa, warga perantauan pun rela pulang kampung demi sebuah
perayaan budaya ini, tidak ketinggalan siswa di sekolah pun dipulangkan lebih awal, ketika
perhelatan Jembul akan dimulai,” imbuh alumnus Fakultas Peternakan Universitas
Jendral Sudirman ini.
Pesona budaya dalam tradisi
jembul tulakan ini, terbukti menarik perhatian masyarakat luas, di tahun
kemarin (2015) ada beberapa warga negara Jepang yang turut hadir bersama dinas
pariwisata dan kebudayaan Jepara. Ini menunjukan sebuah potensi wisata yang
besar. Jembul tulakan memang layak dimasukkan sebagai paket wisata yang bisa
mendongkrak pendapatan sektor pariwisata di Kabupaten Jepara.[]