Wednesday, May 25, 2016

Tukhul dan Ketakutan Sebuah Rezim

“Ia hilang tak tentu rimba. Tapi puisinya abadi dan menjadi teriakan wajib para demonstran : hanya ada satu kata : Lawan!”
(Wiji Tukhul Teka-teki Orang Hilang, Seri Buku TEMPO, 2013)

Barangkali kutipan diatas mengingatkan kita pada keberanian seorang aktivis kala itu. Hingar bingar rezim orde baru menyisakan masalah pelik yang tak menemu jalanya. Ketimpangan soisal, berbagai aksi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), perkosaan, penculikan dan pembunuhan yang tak bersua hukum bahkan keadilan. Semua jalan dilegalkan semata untuk kelanggengan sebuah rezim. Dan kini bahkan ditengah euforia Reformasi-Demokrasi berbagai masalah itu tak menemu hukumnya, seakan dininabobokan tumbangnya rezim Soeharto berganti zaman demokrasi yang diidamkan .

Salah satu tokoh aktivis yang menentang keras rezim orde baru adalah Wiji Tukhul, penyair sekaligus seniman aktifis pro-demokrasi. Ia adalah putra asli solo, lahir pada tanggal 26 Agustus 1963 di kampung buruh Sorogenen dengan nama asli Wiji Widodo, ayahnya adalah seorang penarik becak. Jenjang pendidikanya hanya sampai Sekolah Menengah Karawitan Surakarta yang kini berganti nama menjadi SMKN 8 Surakarta, itupun hanya sampai kelas 2. Tukhul kemudian menikah dengan Siti Diyah Sujirah alias Sipon dan dikaruniai 2 putra putri, Fitri Nganti Wani dan Fajar Merah. Banyak pekerjaan yang sudah ia jalani, dari menjadi loper koran, calo tiket hingga tukang pelitur furniture. Ia juga aktif dalam panggung drama, dengan bergabung bersama kelompok Teater Jagat (Jagalan Tengah) asuhan Cempe Lawu Warta Wisesa, sebelumnya ia juga mendirikan sebuah kelompok Teater bernama “Sanggar Suka Banjir” yang beranggotan anak-anak disekitar rumahnya.

Tukhul merupakan aktivis politik Partai rakyat Demokratik (PRD) dalam divisi Seni, sekaligus penyair yang gethol berteriak lantang menentang dan menantang rezim diktator Jenderal Besar. Pasca Peristiwa 27 Juli 1996, sekitar bulan-bulan menjelang kejatuhan Soeharto pada tahun 1998 sampai sekarang dia tidak diketahui keberadaanya, hilang begitu saja. Dalam siaran pers Kontras Pers Nomor 7 tahun 2000 Tukhul dinyatakan hilang dengan dugaan diculik dan dihilangkan paksa oleh militer Orde Baru lewat Tim Mawar bentukan Kopasus.

Ketakutan penguasa
Wiji Tukhul menjadi salah satu dari ke 13 aktivis yang dihilangkan oleh aparat, kegaranganya di pentas podium unjuk rasa menjadikan phobia tersendiri bagi sang jenderal dan singgasananya. Bahkan bila penyair-seniman ini membacakan puisi ditengah buruh dan mahasiswa, aparat memberinya cap sebagai agitator menakutkan.

Bukan tanpa alasan, aktivis Partai Rakyat Demokratik ini ditakuti rezim orde baru. Puisi-puisi nya kerap kali bersinggungan dengan pemerintah yang tirani saat itu. Hingga mau tidak mau aktivis seperti Tukhul ini dihilangkan, demi stabiitas politik nasional, katanya. Tukhul terus menebar ancaman dan ketakutan terhadap penguasa kala itu, entah dengan berteater menulis puisi maupun pamflet. Salah satu puisi yang melambungkan namanya berjudul “peringatan” yang menjadi teriakan fardhu ain demonstran hingga kini. “Hanya ada satu kata : lawan.” //Jika rakyat pergi//Ketika penguasa pidato//Kita harus hati-hati//Barangkali mereka putus asa//Kalau rakyat bersembunyi//Dan berbisik-bisik//Ketika membicarakan masalahnya sendiri//Penguasa harus waspada dan belajar mendengar//Bila rakyat berani mengeluh//Itu artinya sudah gawat//Dan bila omongan penguasa//Tidak boleh dibantah//Kebenaran pasti terancam//Apabila usul ditolak tanpa ditimbang//Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan//Dituduh subversif dan mengganggu keamanan//Maka hanya ada satu kata: lawan!

Namanya kian santer kala terlibat aksi menggerakkan demonstran buruh di PT Sri Rejeki Isman Textile (Sritex) Sukoharjo, disertai keberanianya dalam mengkritik lewat menulis syair-syair yang menusuk pemerintah. Perananya dalam sejumlah aksi, membuatnya harus menjadi target operasi militer, berlari dan bersembunyi menjadi kegiatanya setiap hari. Tak hanya berkeliling solo-Yogyakarta ataupun Jakarta, bahkan sumatra hingga kalimantanpun ia jelajahi. Dalam buku serial TEMPO disebutkan Tukhul pernah bersembunyi di kalimantan dengan nama samaran Paulus si tukang bakso hingga Aloysius Sumedi sebagai rohaniawan. Memang Si Cadel ini sosok pemberani, ini dibenarkan dalam sebuah buku kumpulan puisi Wiji Tukhul Kebenaran Akan Terus Hidup, “orang-orang yang berani memang bisa dipenjarakan tetapi, kebenaran tak akan bisa dipenjarakan,” ungkapnya. Tukhul si kerempeng yang dihilangkan lantaran keberaniannya yang menggoyang rezim orde baru. Hingga kini namanya terus diperbincangkan orang, lantaran keberanianya menebar ketakutan untuk pemerintah yang diktator. Yoseph Yapi Taum menobatkan Tukhul sebagai seorang penyair kerakyatan yang kembali mendudukkan fungsi sastra sesuai dengan tempatnya, yakni sebagai sarana memperjuangkan cita-cita dan visi kemanusiaan.
Tukhul adalah Tukhul ia sosok pemberani, yang menamengkan diri demi sebuah kebebasan-demokrasi.

No comments:
Write comments