Monday, July 11, 2016

Jembul Tulakan : Atraksi Budaya yang Mempesona

Indonesia ditakdirkan menjadi negara yang kaya raya. Melimpah ruah tersebar indah di bumi nusantara, dari karunia alam hingga warisan budaya. Di Jawa dikenal ada budaya sedekah bumi. Sedekah bumi menjadi sebuah ritual wujud syukur atas nikmat dan karunia yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa.
Hampir di seluruh wilayah di Jawa menjalankan ini, namun ada kekhasan tersendiri di setiap daerahya. Keunikan pada setiap prosesi yang dijalankan menjadi pembeda antara sedekah bumi di daerah tertentu. Di beberapa daerah ritual sedekah bumi identik dengan iring-iringan gunungan yang berisi makanan dan hasil bumi.
Berbeda dengan di Desa Tulakan Kecamatan Donorojo Kabupaten Jepara. Tradisi sedekah bumi ditandai dengan prosesi iring-iringan Jembul. Prosesi Jembul dimaknai sebagai langkah untuk mengingat laku tapa brata yang dilakukan oleh Nyai Ratu Kalinyamat di bukit Donorojo. Ini dilakukan sebagai aksi  menuntut keadilan atas kematian suaminya. Sunan Hadirin, yang dibunuh oleh Arya Penangsang.
Jembul merupakan perlambangan sumpah Nyai Ratu Kalinyamat yaitu ora pati-pati wudhar tapa ingsun, yen durung keramas getehe lan kramas keset jembule Aryo Panangsang. Yang berarti tidak akan menyudahi semedinya kalau belum keramas dengan darah dan keset rambut Aryo Penangsang.
Jembul sendiri merupakan usungan ancak (semacam tumpukan bambu yang disusun menyerupai gunungan) yang di dalamnya berisi makanan. Jembul terdiri dari dua jenis, yaitu jembul lanang dan jembul wadon. Jembul lanang dihiasi dengan iratan bambu tipis yang kemudian membentuk seperti gunungan dengan dihiasi golek (red: boneka) diatasnya. Sedangkan Jembul wadon tidak.
Arak-arakan berupa iratan bambu, yang sebelumnya diarak dari balai desa ke rumah kepala desa. Kemudian menjadi bahan rebutan masyarakat untuk ngalap berkah keberhasilan panen, dengan ditancapkan disudut-sudut sawah.
Prosesi sedekah bumi di desa Tulakan dimulai pada hari Kamis malam Jum’at, dilanjutkan Jum’at pagi dengan acara manganan di pertapaan Ratu Kalinyamat. Malam Ahad diisi dengan pengajian dan istighosah. Malam Senin diisi dengan pagelaran wayang kulit dan di hari Senin, puncak acara iring-iringan Jembul.
Ada empat jembul yang akan diarak dalam prosesi sedekah bumi ini, yang mana keempat jembul itu adalah perwakilan dari masing-masing dukuh. “Di setiap dukuh menampilkan Jembul dengan ikon dukuh masing-masing,” ungkap Hafid, Sekretaris Desa Tulakan.
Lebih lanjut ia menambahkan, Jembul dukuh Krajan dihias dengan sebuah boneka yang melambangkan Sayid Usman. Seorang abdi yang menemani pertapaan Ratu Kalinyamat yang dikemudian hari menyebarkan Islam di sekitar dukuh krajan. Kemudian ada dukuh Ngemplak dengan tokohnya Sutamangunjaya, dukuh Drojo dengan Ki Leseh dan dukuh Winong yang menampilkan semangat satria gagah perkasa dengan lambang barisan tentara.   
Menurut Hafid, ditetapkannya hari Senin Pahing bulan Dzulqo'dah. Konon hari tersebut bertepatan dengan datangnya Nayoko Projo dari Kalinyamatan. Kedatangannya  mengabarkan berita terbunuhnya Arya Penangsang, serta membawa darah dan rambut Arya Penangsang sebagai tanda bukti.

Pesona budaya
Tradisi ini menjadi sangat sakral, masyarakat menganggap ritual ini sangat penting dan pantang untuk ditinggalkan. Selain wujud syukur, sedekah bumi dengan prosesi arak-arak jembul dimaknai pula sebagai tradisi tolak bala.
Selain tradisi tolak bala, budaya yang diwariskan turun temurun ini menjadi perlambang kerukunan masyarakat desa. “Konon dalam arak-arakan Jembul pasti terjadi bentrok, namun setelah itu masalah usai dengan sendirinya,” jelas Hafid.
Tradisi Jembul Tulakan menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat sekitar, atraksi yang heboh menjadikan jembul tulakan sebagai tontonan yang dinantikan. Tidak hanya warga Tulakan sendiri yang merasa memiliki budaya ini, masyarakat luas pun berbondong-bondong mengerumuni tontonan ini.
“Hari sedekah bumi di Tulakan menjadi hari libur tingkat desa, warga perantauan pun rela pulang kampung demi sebuah perayaan budaya ini, tidak ketinggalan siswa di  sekolah pun dipulangkan lebih awal, ketika perhelatan Jembul akan dimulai,” imbuh alumnus Fakultas Peternakan Universitas Jendral Sudirman ini.

Pesona budaya dalam tradisi jembul tulakan ini, terbukti menarik perhatian masyarakat luas, di tahun kemarin (2015) ada beberapa warga negara Jepang yang turut hadir bersama dinas pariwisata dan kebudayaan Jepara. Ini menunjukan sebuah potensi wisata yang besar. Jembul tulakan memang layak dimasukkan sebagai paket wisata yang bisa mendongkrak pendapatan sektor pariwisata di Kabupaten Jepara.[]          

No comments:
Write comments