Monday, May 9, 2016

Tayuban : Cibiran, dan Ihwal Menjaga Lingkungan

Guru Besar Ilmu Antropologi Universitas Indonesia, Koentjaraningrat mengatakan, budaya merupakan suatu sistem gagasan, rasa, tindakan serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Manusia diciptakan Tuhan dengan bekal akal dan budi, hingga mampu melahirkan dan mencipta sebuah karya tradisi yang adiluhung. Pada hakikatnya budaya memiliki nilai-nilai yang senantiasa diwariskan, ditafsirkan dan dilasanakan seiring dengan pola perubahan sosial kemasyarakatan.[1] 
Di kawasan pantai utara jawa (pantura) bagian timur yang meliputi daerah eks Karesidenan Pati memiliki sebuah tradisi dan kearifan lokal yang sarat nilai-nilai luhur. Tayuban adalah budaya luhur itu, sebuah tarian tradisional yang sedang terpinggirkan zaman. Tarian yang khas dan identik dengan sebuah perayaan dan ritus penting di masyarakat jawa.
Menurut teori R.M. Soedarsono dalam Jurnal Harmonia, tayub mempunyai tiga fungsi utama yaitu sebagai sarana upacara, hiburan dan tontonan. Tayub dipertunjukkan pada berbagai hajat masyarakat terutama sebagai sarana upacara, seperti bersih desa, sedekah bumi hingga perkawinan.[2]
Sejarah Tayub dimulai sejak zaman Kerajaan Singosari kemudian berkembang hingga kerajaan Majapahit. Pada zaman kerajaan ini kesenian tayub merupakan bagian tak terpisahkan dari upacara keselamatan bagi para pemimpin pemerintahan yang akan memangku jabatan baru, hingga pemberangkatan panglima ke medan laga. Perkembangan Tayub tidak hanya berpusara dalam bingkai kerajaan Hindu-Budha. Pada zaman kerajaan Demak pun eksistensi dan perkembangan Tayub tetap terjaga.[3]


Konon, Tarian Tayub menjadi bagian strategi dakwah walisongo kala itu. Sunan Kalijogo memberikan ruh keislaman dalam kesenian Tayuban dengan pemaknaan Toyyibah seperti halnya Jimat Kalimosodo yang diartikan sebagai Kalimat Syahadat. Sunan Kalijogo dengan kecerdikannya memberikan inovasi gerakan dalam tayuban agar lebih sufistik, jari kelingking, manis dan tengah tegak berdiri, sedangkan jari telunjuk dan jempol melingkar,  membentuk abstraksi lafal Allah. Disebutkan dalam sebuah literatur salah satu strategi dakwah walisongo di Jawa adalah dengan seni, selain media perdagangan, pernikahan, pendidikan dan tasawuf, hal ini tentunya memperkuat dugaan Tayuban sebagai media dakwah Sunan Kalijogo.
Tarian Tayub identik dengan pementasan berunsur magis, tayub kerap dihubungkan dengan danyang[4] desa misalnya.[5] Di beberapa daerah misalnya di Keling Jepara ritual Sedekah Bumi yang merupakan wujud syukur melimpahnya hasil panen dan keselamatan desa, selalu lekat dengan pementasan Tayub di punden.[6] Sedekah bumi berasal dari bahasa jawa yang berarti sedekah atau memberi sedangkan bumi itu sendiri berarti tanah, sehingga apabila kata tersebut dirangkai mrngandung pengertian yaitu memberi do’a serta melestarikan dan merawat bumi.
Sangat disayangkan, ketika zaman penjajahan Belanda, kesenian Tayub terpengaruh unsur negatif yang dibawa para penjajah. Adanya minum-minuman berakohol, dan perlakuan tidak senonoh dari penonton terhadap ledhek atau penari tayub. Hingga Tayuban sering dikonotasikan negatif. Clifford Geerzt dalam Religion of Java bahkan mencatat bahwa ledek dianggap sebagai pelacur (kledek teledhek is almost always a prostitute). Tidak jauh berbeda Raflles dalam bukunya The History Of Java menggambarkan penari Tayub mendapat stigma negatif, hampir semua bisa diajak tidur oleh lelaki berduit. Hal ini menambah kesan kemiringan salah satu tari tradisional Indonesia.   
Menjaga Lingkungan
Kearifan lokal tidak hanya ritual ceremony belaka, begitupun dengan Tarian Tayub yang begitu mengakar di kehidupan masyarakat agraris Jawa. Tradisi Tayuban yang terbingkai dalam laku Sedekah Bumi mewujud sebagai kearifan lokal yang ada di kawasan pantura bagian timur. Kearifan lokal tidak hanya bicara tentang keunikan seni dan budaya. Namun lebih dari pada itu, menjaga kearifan lokal adalah ihwal menjaga lingkungan. Menurut UU No.32/2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup BAB I Pasal 1 butir 30 menyebutkan “nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari”.[7]
Tarian Tayub identik dengan prosesi ritual Sedekah Bumi, dalam prosesi yang berlangsung setahun sekali, pada acara puncak perayaan selalu disuguhkan pementasan Tari Tayub.  Menjaga tradisi adalah ihwal menjaga bumi, menjaga keberlangsungan lingkungan hidup, seperti yang termaktub dalam prosesi sedekah bumi sebagai wujud syukur manusia terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Anugrah alam yang menghidupi mereka, selalu ada Tayub didalamnya. Dan ketika manusia tetap teguh menjaga kearifan lokalnya (Sedekah Bumi) Tarian Tayub pun akan tetap terjaga. Hemat penulis, laku menjaga keseimbangan dalam ritus sedekah bumi sama halnya laku bertayuban, laku menjaga dan cinta lingkungan.   



[1]Rasid Yunus,  Nilai-Nilai Kearifan Lokal  (Local Genius)  Sebagai Penguat Karakter Bangsa  Studi Empiris Tentang Huyula, Deepublish,  Sleman, 2014, hlm. 2.
Lihat juga Hari Poerwanto,  Kebudayaan dan Lingkungan dalam Perspektif Antropologi.Pustaka Pelajar , Yogyakarta, 2000., hlm. 52.
[2] Agus Cahyono, Pola Pewarisan Nilai-nilai Tayub, Jurnal Harmonia, Vol VII, 2006, hlm. 27    
[3] Siti Nur Fitria, Kesenian Tayub di Masyarakat, Artikel Ilmiah, Universitas Airlangga Surabaya,  2015, hlm 3
[4] Danyang merupakan leluhur desa, dalam kepercayaan orang Jawa dianggap sebagai perintis adanya desa tersebut atau orang pertama yang berdiam disitu 
[5] M.Ridwan dan Miftahudin, “Geliat Tayub Pati” ,  Majalah Paradigma, Edisi 2013, hlm. 59.
[6] Punden merupakan  tempat yang di yakini  persemayaman  atau makam  leluhur yang dipercaya sebagai cikal bakal masyarakat 

No comments:
Write comments