Menulis
memang tidak bisa terlepas dari dunia akademik, dari sepenggal tulisanlah
sebuah ilmu pengetahuan akan abadi, lewat sepenggal tulisan pula seseorang tidak
akan pernah mati. Seperti Imam Ghozali dengan karya monumentalnya Ihya’Ulumuddin
yang tetap dikaji sampai saat ini, dan namanya pun tetap eksis, tak lekang oleh
gerusan zaman. Maka dari itu sebuah pepatah berbunyi “ikatlah ilmu dengan
menuliskanya”, pepatah itu meningatkan kita agar selalu menuliskan ilmu
yang kita miliki, bukan tidak mungkin kata demi kata yang kita tulis setiap
hari akan bermetamorfosis menjadi sebuah buku kecil nan sederhana yang
patut dinikmati khalayak ramai.
Realita
Melihat
realitas dunia akademis kampus kita saat ini, memang masih jauh dari tradisi
menulis, mahasiswa hanya disibukan atau (mungkin) menyibukan diri dengan
menulis makalah wajib dari dosen, ketimbang menulis karya-karya sastra maupun
karya ilmiah lainya semacam esai, maupun artikel untuk bisa menghiasi
halaman-halaman media. Mahasiswa pergi kuliah rasa-rasanya sedang membohongi diri
sendiri. Apalagi ketika kuliah orientasinya nilai IPK. Mereka sebenarnya tak
nyaman mendengarkan penjelasan dari dosen. Tetapi mereka tetap bertahan demi
nilai itu.(hlm 102)
Dalam
buku ini disajikan pula mengenai peristiwa-peristiwa aktual yang terjadi
disekitar kita, yang tentunya menggelitik sehingga menarik untuk kita baca,
fahami dan diskusikan seperti menyoal esai tentang pendidikan yang ditulis
selepas kegiatan Malam Selasa Kata. Seperti tulisan dari Adi Purnomo ;
Pendidikan Bergantung Bahasa, yang menyuguhkan realita pendidikan tak lagi
menjadi ruang menyemai kemanusiaan, yang didamba dan menyenangkan akan tetapi
menjadi sebuah ketegangan. “Dunia pendidikan mengamini logika militer dalam
perang, siapa melanggar perintah akan mati. Guru jadi manusia arogan.
Jauh dari dambaan Ki Hadjar Dewantara, “guru mesti menghamba”. (hlm.79)
Ruh menulis
Buku yang merupakan kumpulan esai
dari berbagai tema mulai dari sosial, politik, pendidikan dan budaya ini seakan
menjadi ruh dan cambuk, ohh tidak cambuk, tetapi bulu ayam yang menggelitik bagi
civitas akademika terutama mahasiswa, agar terangsang dan mampu terus menerus mengeksiskan dirinya dalam
percaturan masyarakat caranya, dengan menulis, sepenggal kata pengantar dari
Arif Rohman tentang menghidupkan yang mati yang mampu mengelitik siapapun untuk
ikut terjun dalam dunia tulis menulis, sesuatu yang bisa menghidupkan yang
mati, membangkitkan kembali hasrat menulis yang dulu pernah ada. Meski
“kehidupan setelah mati” itu dijalani dengan sedikit paksaan. Jika hasrat
menulis kita mati, kita tinggal menghidupkanya, caranya memulai lagi menulis. (hlm
xiv)
Sehingga
menulis dari keterpaksaan akan menimbulkan karya yang tidak terduga. Meminjam
istilah Raditya Dika “menanam kata memanen rupiah” memberikan kita
pencerahan dan motivasi bahwa hanya bermodalkan pena, dan ide-ide segar
kemudian kita tuangkan ke dalam secarik kertas bukan tidak mungkin akan menjadi
pundi-pundi uang yang mengalir deras sebagai reward atas kreatifitas dan
kerja keras kita.[]
Judul : Menghidupkan Yang Mati (sebuah
antologi esai)
Penulis : Anggota
LPM Paradigma
Penerbit : Parist
Kudus
Tahun Terbit : Januari 2015
Tebal : xxiv +
170 halaman. ; 14 cm x 21 cm
No comments:
Write comments