Sunday, April 3, 2016

Eksis dengan Menulis

Menulis memang tidak bisa terlepas dari dunia akademik, dari sepenggal tulisanlah sebuah ilmu pengetahuan akan abadi, lewat sepenggal tulisan pula seseorang tidak akan pernah mati. Seperti Imam Ghozali dengan karya monumentalnya Ihya’Ulumuddin yang tetap dikaji sampai saat ini, dan namanya pun tetap eksis, tak lekang oleh gerusan zaman. Maka dari itu sebuah pepatah berbunyi “ikatlah ilmu dengan menuliskanya”, pepatah itu meningatkan kita agar selalu menuliskan ilmu yang kita miliki, bukan tidak mungkin kata demi kata yang kita tulis setiap hari akan bermetamorfosis menjadi sebuah buku kecil nan sederhana yang patut dinikmati khalayak ramai.
Realita 
Melihat realitas dunia akademis kampus kita saat ini, memang masih jauh dari tradisi menulis, mahasiswa hanya disibukan atau (mungkin) menyibukan diri dengan menulis makalah wajib dari dosen, ketimbang menulis karya-karya sastra maupun karya ilmiah lainya semacam esai, maupun artikel untuk bisa menghiasi halaman-halaman media. Mahasiswa pergi kuliah rasa-rasanya sedang membohongi diri sendiri. Apalagi ketika kuliah orientasinya nilai IPK. Mereka sebenarnya tak nyaman mendengarkan penjelasan dari dosen. Tetapi mereka tetap bertahan demi nilai itu.(hlm 102)
Dalam buku ini disajikan pula mengenai peristiwa-peristiwa aktual yang terjadi disekitar kita, yang tentunya menggelitik sehingga menarik untuk kita baca, fahami dan diskusikan seperti menyoal esai tentang pendidikan yang ditulis selepas kegiatan Malam Selasa Kata. Seperti tulisan dari Adi Purnomo ; Pendidikan Bergantung Bahasa, yang menyuguhkan realita pendidikan tak lagi menjadi ruang menyemai kemanusiaan, yang didamba dan menyenangkan akan tetapi menjadi sebuah ketegangan. “Dunia pendidikan mengamini logika militer dalam perang, siapa melanggar perintah akan mati. Guru jadi manusia arogan. Jauh dari dambaan Ki Hadjar Dewantara, “guru mesti menghamba”. (hlm.79)

Ruh menulis     
            Buku yang merupakan kumpulan esai dari berbagai tema mulai dari sosial, politik, pendidikan dan budaya ini seakan menjadi ruh dan cambuk, ohh tidak cambuk, tetapi bulu ayam yang menggelitik bagi civitas akademika terutama mahasiswa, agar terangsang dan  mampu terus menerus mengeksiskan dirinya dalam percaturan masyarakat caranya, dengan menulis, sepenggal kata pengantar dari Arif Rohman tentang menghidupkan yang mati yang mampu mengelitik siapapun untuk ikut terjun dalam dunia tulis menulis, sesuatu yang bisa menghidupkan yang mati, membangkitkan kembali hasrat menulis yang dulu pernah ada. Meski “kehidupan setelah mati” itu dijalani dengan sedikit paksaan. Jika hasrat menulis kita mati, kita tinggal menghidupkanya, caranya memulai lagi menulis. (hlm xiv)
Sehingga menulis dari keterpaksaan akan menimbulkan karya yang tidak terduga. Meminjam istilah Raditya Dika “menanam kata memanen rupiah” memberikan kita pencerahan dan motivasi bahwa hanya bermodalkan pena, dan ide-ide segar kemudian kita tuangkan ke dalam secarik kertas bukan tidak mungkin akan menjadi pundi-pundi uang yang mengalir deras sebagai reward atas kreatifitas dan kerja keras kita.[]      

Judul               : Menghidupkan Yang Mati (sebuah antologi esai)
Penulis             : Anggota LPM Paradigma
Penerbit           : Parist Kudus
Tahun Terbit    : Januari 2015
Tebal               : xxiv + 170 halaman. ; 14 cm x 21 cm 

No comments:
Write comments