Saturday, March 26, 2016

Pendidik Bukan (Hanya) Mendidik

Hari ini kita begitu banyak disuguhi tontonan dan fenomena memalukan sekaligus memilukan dari dunia pendidikan. Dunia yang menjadi tumpuan dan harapan bersemainya nilai-nilai luhur dan budi pekerti, dunia dimana nasib bangsa ini akan menuai kemajuan berperadaban. Tentunya ingatan kita masih fresh dengan berbagai persoalan-persolan yang terjadi di tanah air ini, yang kian hari semakin bertambah semrawut dan menambah benang kusut pendidikan kita. Persoalan-persoalan ini bukan hanya di cerminkan oleh peserta didik seperti bolos sekolah, mabuk-mabukan, sex bebas hingga tawuran yang sampai menewaskan salah satu siswa SMK di Jakarta Selatan tahun 2012 silam.[1] Hal yang hampir serupa juga pernah terjadi, dimana persoalan cinta berujung  bentrok yang melibatkan siswa MA Darul Falah Sirahan Pati dengan siswa SMKN 1 Cluwak Pati tahun 2011.[2] Tidak hanya itu, keburukan-keburukan tersebut tidak semata dipertontonkan oleh siswa melainkan di pertontonkan pula oleh para pendidiknya, oknum guru.[3]

Guru sebagai model
Para guru yang seharusnya menjadi sosok teladan/ Uswah Hasanah ini nyatanya malah memperlihatkan perilaku yang tidak sesuai dengan filosofi jawa seorang guru, yaitu digugu lan ditiru. Beberapa oknum pendidik di sekolah (meskipun tidak semuanya) justru melakukan tindak kekerasan dan pelecehan seksual terhadap muridnya, yang semakin marak dewasa ini. Sungguh ironis memang, sekolah yang merupakan tempat belajar yang menyenangkan berubah menjadi mimpi buruk bagi siswanya.
Belum juga masalah ini usai, di tambah lagi dengan carut marut mengenai ujian nasional. Ujian yang di gadang-gadang menjadi proses final kelulusan siswa malah erat sekali dengan tindakan-tindakan kecurangan, dan ironisnya kecurangan itu adalah kerjasama antara pendidik dan peserta didik. Bahkan sejuta cara distempel halal oleh pendidik, guna meluluskan siswanya seperti menyuplai contekan hingga membeli kunci jawaban ujian nasional. Hal ini membuktikan betapa merosotnya pendidikan moral tentang kejujuran dan kerja keras yang dipertontonkan langsung didepan anak didiknya.
Bandura  yang dikutip oleh Sigit Setyawan dalam bukunya Guruku Panutanku, mengemukakan bahwa, salah satu tumpuan teori kognitif sosial adalah modeling. Model menjadi perhatian utama teori kognitif sosial karena pada prinsipnya pembelajaran dalam konteks ini melibatkan pengamatan terhadap model. Segala sesuatu yang dipelajari dari pengalaman langsung juga dapat dipelajari dari pengalaman tidak langsung, yaitu modeling.[4]
Jika menilik hal tersebut, guru adalah model bagi anak didiknya, dan bayangkan, apa yang akan terjadi jika guru memodelkan hal yang tak sepantasnya. Peribahasa “guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Makna dari peribahasa tersebut adalah siswa mengikuti perbuatan tidak baik yang dilakukan oleh gurunya, bahkan lebih buruk lagi. Dapat dipahami bahwa pengalaman tidak langsung yang diperoleh siswa dari perilaku guru tersebut justru lebih mudah diterima dan ditiru. Karena hampir semua perilaku guru akan menjadi teladan /model (uswah hasanah) bagi anak didiknya.[5] Hal ini selaras dengan yang dilakukan oleh Rasulullah Muhamad SAW, sebagai guru beliau amat menekankan keteladanan dan akhlak mulia. Jika Rasul menyuruh melakukan sesuatu, beliau orang pertama yang akan melakukanya sebelum orang lain. Keteladanan atau model lebih memudahkan pemahaman dan ingatan, ketimbang sebatas ucapan dan penjelasan.[6]



Peran Guru
Sejatinya guru mempunyai banyak peran, tidak hanya dalam lingkup instansi sekolah melainkan dalam ranah sosial kemasyarakatan. Peran guru disamping menjadi seorang pendidik adalah menjadi pengajar, pembimbing dan model atau teladan.[7] Dalam dunia pendidikan guru tidak hanya berfungsi sebagai transfer of knowledge tetapi juga transfer of value. Artinya guru tidak hanya berkewajiban secara formal menanamkan ilmu pengetahuan, sejatinya lebih dari itu guru berkewajiban menanamkan nilai-nilai moral dan spiritual.
Ada beberapa poin yang seharusnya diperhatikan oleh guru, karena itu merupakan perananya dalam ranah pendidikan. diantaranya :
1.      Guru sebagai pengasuh
Guru seharusnya juga berperan sebagai pengasuh dengan kelembutan hati, sebab dengan kelembutan hatinya ini bukan tidak mungkin anak didiknya akan mudah tersentuh. Karena memang guru harus menempatkan diri menjadi orang tua siswa.
2.      Guru harus mengabdi
Keikhlasan dan totalitas guru dalam mengajar patut menjadi prioritas utama, karena dengan keikhlasan dan totalitas tersebut pengabdian guru akan maksimal dan menelurkan lulusan yang bermutu dan berakhlakul karimah. Menurunya prestasi anak sekolah sekarang ini, dalam hal akhlak bukan tidak mungkin disebabkan karena ketidak ikhlasan para guru dalam mengajar.
Hal terbesar yang menjadi pekerjaan rumah bagi para pendidik adalah mengembalikan nilai-nilai yang telah melekat pada diri para pendidik itu sendiri, yaitu sosok yang patut untuk digugu lan ditiru. Guru adalah cerminan cahaya masa depan bangsa, karena ditanganya ini anak-anak pembangunan masa depan akan menerima suapan-suapan ilmu, budi pekerti dan nilai-nilai moral yang nantinya akan menjadi bekal penting ditengah zaman edan ini.
Belajar dari Ki Hajar
Sebagai pribadi yang multi peran, tidak hanya mendidik saja, guru perlu belajar dari salah satu ajaran Ki Hajar Dewantara bapak pendidikan nasional kita yang sangat populer yaitu : “Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani”. Ing Ngarso Sun Tulodo artinya Ing ngarso itu didepan / dimuka, Sun berasal dari kata Ingsun yang artinya saya, Tulodo berarti tauladan. Jadi makna Ing Ngarso Sun Tulodo adalah menjadi seorang pemimpin atau guru harus mampu memberikan suri tauladan bagi orang – orang disekitarnya. Sehingga yang harus dipegang teguh oleh seseorang adalah kata suri tauladan. Ing Madyo Mangun Karso, Ing Madyo artinya di tengah-tengah, Mangun berarti membangkitan atau menggugah dan Karso diartikan sebagai bentuk kemauan atau niat.
Jadi makna dari kata tersebut berarti seseorang ditengah kesibukannya harus juga mampu membangkitkan atau menggugah semangat. Karena itu seseorang juga harus mampu memberikan inovasi-inovasi dilingkungannya dengan menciptakan suasana yang lebih kondusif untuk keamanan dan kenyamanan.
Tut Wuri Handayani, Tut Wuri artinya mengikuti dari belakang dan handayani berati memberikan dorongan moral atau dorongan semangat. Sehingga arti dari Tut Wuri Handayani ialah seseorang harus memberikan dorongan moral dan semangat kerja dari belakang. Dorongan moral ini sangat dibutuhkan oleh orang – orang disekitar kita.[8]
Jadi secara tersirat Ing Ngarso Sun Tulodo, Ing Madyo Mbangun Karso, Tut Wuri Handayani berarti figur seseorang yang baik adalah disamping menjadi suri tauladan atau panutan, tetapi juga harus mampu menggugah semangat dan memberikan dorongan moral dari belakang agar orang – orang disekitarnya dapat merasa situasi yang baik dan bersahabat. Sehingga kita (pendidik) dapat menjadi manusia yang bermanfaat di masyarakat, dan ajaran Ki Hajar Dewantara ini sudah sepatutnya mendarah daging disetiap insan pendidik.


[2] Hasil wawancara dengan Muhamad Khoirul Multazam pada  bulan Agustus 2011
[4] Sigit Setyawan, Guruku Panutanku, Kanisius, Yogyakarta, 2013, hlm. 14
[5] Ahmad Halimi, dkk. 2015. Resume Mata Kuliah Sosiologi Pendidikan : Peranan Guru di sekolah dan Masyarakat. Hlm 1
[6] Abdul Fatah Abu Ghuddah,  Muhamad Sang Guru, Menyibak rahasia cara mengajar rasulullah diterjemahkan dari  Ar-Rasul al-Mu’allimin wa Asalibuhu fi at-Ta’lim oleh Agus Khudlori, Armasta,  Temanggung, 2015,  hlm 81-82
[7] Mulyasa, Menjadi Guru Profesional,  Remaja Rosdakarya, Bandung, 2009,  hlm. 37-47

No comments:
Write comments